15 Februari 2013

Kisah Dua Sahabat

Tersebutlah dua anak lelaki.
Sebaya usia mereka.
Bersahabat di SMA.

Yang satu bertubuh kurus, tinggi, berkulit agak cokelat, dan berwajah tirus dihiasi dengan lesung pipit yang dapat melelehkan lawan jenis ketika ia tersenyum. Terkadang rambut pendeknya tak disisir rapi, tapi itu adalah salah satu alasan mengapa ia selalu terlihat menawan.

Hobinya adalah bermain game, berolahraga, juga membagi pendapat. Tidak, mungkin lebih tepat membagi rasa. Karena ia sering menghabiskan waktunya untuk berkicau di situs jejaring sosial atau nge-blog tentang hal-hal yang ia rasakan. Kebanyakan yang ia utarakan mengenai cinta. Ya, ia lebih tertarik dengan dara-dara di sekolahnya daripada pelajaran yang harus ia santap setiap hari. Walau begitu, ia bukan orang yang suka mempermainkan perempuan.
Ia seorang humoris yang cukup banyak wawasannya sehingga ia cepat akrab dengan siapa saja. Menarik hati para gadis bukanlah hal yang sulit baginya.

Saat ini ia sedang sendiri. Melajang maksudnya. Ia belum menemukan orang yang pas sejak ia berpisah dengan si "ehem". Ia masih menikmati kebersamaan dengan teman-teman dan sahabat-sahabatnya yang selalu setia disampingnya dikala suka maupun duka. Tapi, kalau memang ada kesempatan, ia masih membuka lebar hatinya untuk "ehem".

Berbeda dengan temannya, yang lain memiliki perawakan agak gembul dan pipinya tembam. Tingginya hampir mencapai tinggi teman yang satu. Rambutnya dipotong cepak dan kulitnya lebih putih dari yang satu. Langkahnya berdebam setiap kali berjalan. Karena itu ia mudah dikenali.

Sifatnya masih kekanak-kanakan. Acapkali ia disuruh ini itu. Kadang, jika sudah sangat kesal, ia menyalurkan perasaannya lewat tangisan. Karena itu ia selalu jadi bahan tertawaan teman-temannya. Entah kenapa, kebanyakan yang ia lakukan memang terlihat konyol di depan orang lain. Walau tak semuanya benar-benar konyol.

Pernah, suatu kali ia mencoba mendekati gadis pujaannya. Tak cukup besar memang peluang untuk bisa mendapatkan dambaan hatinya. Ia tahu itu. Namun nyalinya yang lebih besar membuatnya memberanikan diri mengatakan perasaannya. Hahaha... Memang sudah nasib. Sang bulan tak memberi sinyal kuat untuk itu.

Hal yang paling bisa dibanggakan adalah kemauannya dalam meraih keinginannya. Ia tahu ia harus menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, ia berusaha keras dengan belajar lebih giat.

Dengan perbedaan yang ada, mereka justru saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan. Misalnya dalam hal pelajaran, anak-yang-diceritakan-di-awal memang tidak pandai tapi si sahabat mau mengajarkannya dengan ikhlas. Timbal baliknya, anak-yang-diceritakan-terakhir selalu mendapat tips agar mudah bergaul dari sahabatnya. Dengan begitu, mereka bisa mengisi kekurangan mereka.
***

Sekian cerita yang cukup random ini. Kalau ada waktu luang, kita sambung lagi :-). Au revoir!
P.S. kalau ada usul nama, boleh di-share :)